Jumat, 27 Juli 2012

makalah sutera


BAB I
PENDAHULUAN

I.1        Latar Belakang Masalah
Dengan semakin berkembangnya jaman dan meningkatnya kemajuan teknologi yang dicapai dewasa ini, maka peradaban manusia semakin meningkat sehingga kebutuhan dan tuntutan hidup akan lebih besar dan beraneka ragam demikian juga kebutuhan dalam bahan tekstil makin lama akan semakin meningkat.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan tekstil tersebut maka dibutuhkan bahan baku tekstil baik yang berasal dari alam maupun buatan. Untuk yang berasal dari alam terdiri dari berbagai jenis serat alam, baik serat alam yang berasal dari tumbuhan maupun binatang. Akan tetapi produksi dari serat alam ini masih kurang memenuhi jumlah kebutuhan yang diperlukan. Sebagai contoh kebutuhan akan serat kapas di Indonesia masih harus mengimpor dari negara lain.
Hal ini disebabkan oleh karena produksi perkebunan kapas di Indonesia masih rendah dan areal untuk penanaman kapas yang masih terbatas. Maka kemungkinan swasembada kapas untuk dapat mengimbangi kebutuhan bahan baku industri dalam negeri, diperkirakan akan sulit terpenuhi di dalam negeri dalam jangka waktu yang singkat.
Dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, maka dipandang perlu adanya suatu upaya diversifikasi penyediaan bahan baku untuk industri dari serat alam ini, yaitu dengan jalan mengadakan penelitian dan pemanfaatan serat sutera yang dihasilkan dari kokon.
Berdasarkan hasil survey pada peternakan sutera yang ada di Ciawi Kabupaten Tasikmalaya ini, cara penetasan ulat sutera mulai dari telur sampai menjadi kokon dan proses pemintalan serat sutera di Ciawi masih dilakukan secara sederhana atau tradisional, tetapi dengan memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan, sehingga hasilnya tetap memenuhi persyaratan dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan serat sutera untuk menghasilkan bahan tekstil yang semakin meningkat.

I.2        Identifikasi Masalah
Walaupun cara pengolahan dan pemintalan sutera ini masih secara sederhana, tetapi masih memerlukan perhatian yang khusus dalam pengolahannya, baik mengenai syarat-syaratnya ataupun kondisi ruangannya, karena hal tersebut akan mempengaruhi produksi kokon dan hasil benang suteranya.

I.3        Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara pengembangbiakan ulat sutera sampai menghasilkan bahan baku (kokon) untuk kemudian dilanjutkan pada pengolahan dan pemintalan guna menghasilkan benang sutera pintal.

I.4        Ruang Lingkup
Ruang lingkup permasalahan dibatasi pada :
1.    Pengembangbiakan ulat sutera sampai menghasilkan bahan baku (kokon)
2.    Pengolahan kokon dan pemintalan

I.5        Kesulitan - Kesulitan
Di dalam penyusunan paper ini, penulis tidak terlepas dari kesulitan -kesulitan yang dihadapi, diantaranya :
1.    Keterbatasan informasi yang didapat penyusun pada saat melakukan penelitian di lapangan
2.    Sulitnya mencari pabrik atau usaha sutera umumnya di Jawa Barat, karena pada saat penulisan paper ini produksi sutera sedang agak menurun.




BAB II
TEORI DASAR

II.1       Sejarah Sutera
Sutera adalah serat yang diperoleh dari sejenis serangga yang disebut lepidopterra. Serat sutera yang berbentuk filament dihasilkan oleh larva ulat sutera waktu membentuk kepompong. Spesies utama yang dipelihara untuk menghasilkan sutera adalah Bombyx Mori. Pemeliharaan ulat sutera pertama ditemukan bangsa Cina sekitar 2600 SM setelah 3000 tahun baru ditemukan cara pengolahan sutera yang dicuri dari bangsa Cina oleh bangsa Eropa. Sutera diperkenalkan Alexander The Great pada bangsa Eropa. Industri sutera yang besar pertama kali didirikan di Eropa Tenggara yang secara cepat menyebar ke daerah barat karena kekuasaan Muslim. Spanyol mulai memproduksi sutera pada abad VIII. Sedangkan Italia pada sekitar abad XII dan menjadi yang terdepan selama 500 tahun. Kemudian di abad XVI, Perancis menjadi pesaing berat Italia dalam produksi kain sutera. Jepang merupakan negara pertama penghasil sutera dalam jumlah yang besar dengan menggunakan metode keilmuan dalam pengolahan ulat sutera pada peternakan maupun di pabrik. Adapun negara lain yang menghasilkan sutera seperti Cina, Italia, Spanyol, Perancis, Austria, Iran, Turki, Yunani, Syria, Bulgaria, dan Brasil.

II.2       Sutera Sebagai Bahan Baku

            A.        Sutera Alam
Produksi kokon untuk diambil filamennya disebut sericulture. Pecobaan-percobaan telah membuktikan bahwa kokon dari Bombyx Mori satu spesies dari ulat sutera dapat menghasilkan sutera mentah dengan kualitas terbaik. Berdasarkan peternakan ilmiah, ulat sutera dapat ditetaskan 3 kali dalam setahun, dalam kondisi alami penetasan terjadi hanya 1 kali dalam setahun daur hidupnya sebagai berikut :
1.    Telur, yang berkembang menjadi larva atau ulat - ulat sutera
2.    Ulat sutera, yang membentuk kokon sebagai perlindungan, dan berubah menjadi pupa atau kepompong.
3.    Kepompong, yang terbentuk dari kokon yang akan berubah menjadi ngengat
4.    Ngengat, yang betina bertelur dan berlangsung kontinyu sebagai daur hidup

B.        Karakteristik Kokon
            Meskipun mayoritas kokon yang digunakan sebagai bahan untuk reeling sutera adalah kokon - kokon mulberry, terdapat 10 jenis kokon liar seperti tassah, yamamayu (tassah Jepang), eri, dsb. Digunakan untuk pemintalan sutera di Cina, India, dan Rusia.
Bagian besar dari berat kokon adalah pupa. Karena kokon mengandung banyak air, maka perlu dibuang sebagian airnya untuk memperbaiki kualitas filamen kokon sebagai bahan untuk reeling dan membuat kokon awet dalam waktu yang lama.
Sebuah kokon ditutupi oleh jeratan filamen yang disebut “floss cocon”. Yang masing - masing mempunyai kulit kokon yang dibuat dari filamen kokon yang berisi pupa dan kulit larva.
Bentuk sebuah kokon merupakan jenis yang istimewa. Bahasa umumnya, kokon F1  dari keturunan Jepang adalah bentuk kacang (peanut shape), dari keturunan China Ellipsoidal, keturunan Eropa Ellipsoidal yang lebih panjang dan keturunan Polyvoltine seperti spindle.
Warna kokon dibagi dalam warna putih dan kuning. Ada juga yang hijau, hijau pucat, atau merah muda. Mayoritas dari hybrid sekarang ini adalah warna putih. Pada permukaan kulit kokon terdapat kerutan yang dinyatakan dalam  sangat kasar, kasar, biasa, padat atau ringan atau sangat padat/ringan.
Di bawah mikroskop, filamen kokon disusun oleh dua filamen yang    halus disusun secara paralel. Filamen tersebut terbuat dari fibroin  yang berbentuk tri angular ditutup oleh serisin. Filament kokon mempunyai panjang 800-1500 meter dengan ketebalan 2,3-2,8 denier 
Sebuah kokon terbentuk dari substansi protein yang disembur / disemprotkan ulat sutera melalui spinneret pada mulutnya dengan gerakan melengkung berbentuk putaran dan menyerupai angka 8, ulat tersebut harus dalam keadaan tersembunyi selama 24 jam dalam 3 hari dalam pembuatan kokon tersebut. Filamen yang dihasilkan berbentuk untaian ganda atau fibroin, yang bersatu dengan adanya zat perekat yang disebut serisin atau perekat sutera (silk gum). Zat cair tersebut mengeras dengan cepat di udara terbuka. Jika tidak diganggu kepompong dalam kokon berubah menjadi ngengat dalam dua minggu. Untuk keluar, ngengat harus mendobrak atap ( bagian atas ) dari kokon dengan mengeluarkan / menyemburkan cairan alkali yang akan menghancurkan filamen dengan cara tersebut. Pada proses pemintalan terlebih dahulu dilakukan proses pemasakan (scouring), yaitu kokon terlebih dahulu dipanaskan untuk membunuh kepompong tetapi tanpa merusak filamen sutera yang halus

            C.        Sifat-sifat Serat Sutera Alam
a.   Sifat - sifat Fisika
·         Panjang serat
      Serat sutera merupakan filamen yang panjang, tergantung bentuk dari kepompong yang dihasilkannya.
·         Kekuatan serat
      Dalam keadaan kering kekuatannya 4-4,5 gram/denier dengan mulur 20-25%, dan dalam keadaan basah 3,5-4,0 gram per denier dengan mulur 25-30%.
·         Kehalusan serat
      Serat sutera merupakan filamen yang kehalusannya 1,75-4,0 denier.
·         Moisture Regain
      Sutera mentah 11% tetapi setelah dihilangkan serisinnya menjadi 10 %.


·         Bentuk penampang
      Penampang lintang serat sutera Bombyx Mori berbentuk segitigadengan sudut-sudut yang membulat, sedangkan penampang lintang dari serat sutera liar (tusah) berbentuk pasak seperti pada gambar













Gambar 1. Penampang melintang dan membujur serat sutera Bombyx Mori dan sutera tusah

b.  Sifat - sifat Kimia
Seperti serat protein lainnya sutera bersifat ampoter dan menyerap asam dan basa dari larutan encer. Dibanding wol, sutera kurang tahan terhadap asam tetapi lebih tahan terhadap alkali. Sutera kurang tahan terhadap zat-zat oksidator dan sinar matahari dibanding dengan serat selulosa atau serat buatan, tetapi dibandingkan dengan serat alam lainnya serat sutera lebih tahan terhadap serangan secara biologi




D.        Limbah sutera
Tidak semua ulat sutera dapat menghasilkan kokon yang berkualitas baik, dalam arti bahwa filamen yang diuraikan dari kokon yang berkualitas baik tidak terputus dari awal sampai akhir , sampai seluruh serat dalam kokon habis.
Kokon yang tidak dapat diuraikan menjadi filamen dianggap sebagai limbah kokon, yang pada umumnya berasal dari :
1.    Kokon yang berlubang karena kepompong sampai menjadi kupu-kupu dan keluar dari kokon.
2.    Kokon yang cacat, misalnya kokon yang rangkap atau tidak normal atau sangat kecil.
3.    Sisa kokon yang direeling (diuraikan)  yang masih terdapat sisa serat sutera tetapi sukar untuk ditarik dan diuraikan.
            Limbah sutera tersebut di atas masih merupakan bahan yang berharga, karena masih dapat dimanfaatkan menjadi benang sutera stapel. Pembuatan benang sutera stapel ini dilakukan dengan cara konvensional dengan cara penguluran dan penggintiran dengan alat yang dinamakan japran, sehingga terbentuk benang-benang sutera stapel dengan ukuran diameter yang besar, dengan tingkat U % yang tinggi.
            Saat ini limbah sutera yang tersisa telah dapat dijadikan benang yang cukup rata (U % rendah) oleh seorang ahli benang sutera yang telah berhasil menciptakan suatu alat baru untuk proses pemintalan limbah serat sutera dan sekarang sudah dapt bersaing dengan benang sutera filamennya, meskipun tetap diameter benang tidak sehalus benang filamen.
            Limbah sutera yang  lain adalah sisa ulat sutera yang masih terdapat didalam kokon, yang jumlahnya sama banyaknya dengan jumlah kokon yang ada. Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman, sisa ulat sutera yang berjumlah cukup banyak tersebut digiling dan kemudian dikeringkan untuk dijadikan pakan ikan yang disebut pelet. Berdasarkan pengalaman dan kepercayaan pula sisa ulat ini bisa dijadikan berbagai macam obat untuk berbagai macam penyakit, seperti reumatik, sulit punya anak, menambah kekuatan tubuh, dll.

            Dengan demikian maka kita dapat melihat bahwa pengolahan serat sutera tidak menghasilkan limbah yang berbahaya dan banyak, karena seluruh limbah yang ada dapat dimanfaatkan kembali.

II.3       METAMORFOSIS ULAT SUTERA
A.           Telur
1.    Bentuk telur ulat sutera bulat sedikit lonjong, panjang 1,3 mm lebar 1 mm dan tebal 0,5 mm.
2.    Saat keluar dari induknya warna telur kuning atau kadang-kadang putih kekuning-kuningan.
3.    Setelah didalam telur terjadi kehidupan maka warnanya berubah menjadi abu-abu muda, makin lama makin gelap dan jika saat menetas sudah dekat  maka warnanya menjadi abu-abu kehitam-hitaman.
4.    Telur biasanya menetas selama 10 hari, pada suhu 250 C dan kelembaban udara 80% – 85%
5.    Seekor kupu-kupu betina  bisa menghasilkan telur antara 400 sampai 600 butir dengan berat sekitar 0,0006 gram tiap butir.
6.   



Setelah telur menetas kemudian menjadi ulat kecil yang lalu makan dan tidur terus menerus selama 25 sampai 35 hari tergantung kondisi iklim di daerah yang bersangkutan.
B.           Ulat
1.    Bentuk tubuh ulat sutera bulat panjang. Terdiri dari 13 segmen yang dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu :
a.    Kepala
b.    Dada
c.    Badan
2.    Ulat sutera terbagi dalam 5 instar, yaitu :
a.    Instar 1, 2, dan 3 disebut ulat kecil, dengan umur sampai sekitar 12 hari.
·         Tahan terhadap suhu 280 C - 300 C, dan kelembaban udara                  90 % - 95 %.
·         Menjelang saat istirahat nafsu makannya turun.


b.    Instar 4 dan 5 disebut ulat besar, dengan umur sekitar 13 hari.
·         Membutuhkan suhu antara 230 C - 250 C, dengan kelembaban udara   70 % - 75 %.
·         Setelah instar 5 berakhir, ulat akan mengokon.
3.    Pada mulut bermuara sepasang kelenjar yang dinamakan spineret terletak di bawah saluran pencernaan yang berbentuk S.
4.    Melalui lubang spinneret ini sutera disemprotkan. Sesaat sebelum mencapai lubang spinneret, kedua kelenjar tersebut bergabung menjadi satu saluran.
5.    Ulat sutera mengeluarkan serat sutera dan bekerja dari dalam, menambah lapisan demi lapisan sehingga membentuk lapisan pelindung yang kita sebut kokon.
6.    Pembentukan kokon berlangsung 3 sampai 4 hari kemudian ulatnya berubah menjadi pupa di dalam kokon.










Gambar 2. Ulat Sutra
C.           Kokon
1.    Stadium pupa ini merupakan stadium istirahat karena pada stadium ini pupa tidak makan, hanya mengadakan keaktifan untuk merubah bentuk.
2.    Perubahan dari bentuk ulat ke pupa dan dari pupa ke kupu-kupu dinamakan metamorphosa yang berlangsung dalam waktu sekitar satu minggu, sampai pupa tersebut berubah menjadi kupu-kupu.









Gambar 3. Kokon
D.           Pupa
1.    Terjadi setelah ulat selesai mengeluarkan serat sutera.
2.    Lama masa pupa sekitar 12 hari.
3.    Pupa jantan,  ruas ke sembilan terdapat tanda titik, sedangkan pupa betina pada ruas ke delapan terdapat tanda silang.

E.           Kupu-kupu
1.    Lebar sayap kupu-kupu ulat sutera dari ujung ke ujung sekitar 4 cm.
2.    Kupu - kupu betina lebih besar dari pada kupu-kupu jantan.
3.    Selama hidupnya kupu-kupu sutera berbeda dari kupu-kupu yang lain yang sering kita lihat. Kupu-kupu sutera tidak memerlukan makanan, walaupun ada kalanya umur kupu-kupu sutera mencapai 14 hari yang selama itu kupu-kupu sutera tidak makan.
4.    Untuk menghasilkan telur, kupu-kupu betina dikawinkan dengan kupu-kupu jantan. Setelah dikawinkan kupu-kupu jantan dilepas karena sudah tidak dibutuhkan lagi. Sedangkan kupu-kupu betina akan dipelihara sampai bertelur.



II.4       Proses Pengolahan Bahan Baku dan Penggulungan Benang Sutera
           
A.           Proses Pengolahan Bahan Baku
Proses pengolahan bahan baku ini bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang terkandung dalam kepompong, sehingga dengan dilakukannya proses pengolahan bahan baku ini, diharapkan proses pembuatan benangnya akan berjalan dengan lancar. Adapun urutan prosesnya adalah sebagai berikut :



















Gambar 4. Urutan Proses Pengolahan Sutera




1.      Pengeringan
Pengeringan kokon yang bertujuan untuk membunuh ulatnya dan dilaksanakan segera setelah dipanen. Ada tiga metode pengeringan yang dapat digunakan yaitu :
a.    Pengeringan dengan sinar matahari
Metoda ini sangat sederhana dan murah namun kurang tepat apabila dikaitkan dengan mutu kokon yang dihasilkan. Cara ini dilakukan dengan cara menjemur kokon di bawah sinar matahari selama kurang lebih satu hari sampai ulatnya mati. Untuk melihat ulatnya mati, diambil beberapa kokon untuk dibuka.
b.    Pengeringan dengan menggunakan uap air panas
1)    Cara penguapan kokon dalam keranjang yang diuapi dari air panas yang mendidih
Cara ini dapat digunakan untuk mengeringkan kokon dalam jumlah sedikit (10-15 kg) setiap kali pengeringan. Lama pengeringan 0,5 sampai 1 jam, dan kokon diangkat setelah tercium bau khusus yang keluar dari kokon. Selesai pengeringan kokon ditebar untuk diangin - anginkan selama beberapa jam sehingga kokon menjadi kering.
2)    Penguapan sistem ruangan
Cara ini dilakukan apabila kokon yang diproses jumlahnya banyak. Udara panas dari boiler dialirkan ke dalam ruangan
( kotak tempat penguapan ), dimana kokon tersebut disusun diatas rak - rak. Kokon tersebut diuapkan selama 20 menit dan setelah selesai diuapkan kemudian kokon tersebut dihamparkan di udara terbuka.
3)    Pengeringan dengan udara panas
Pengeringan sistem ini dilakukan di dalam ruangan yang dipanaskan. Udara dalam ruangan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi aliran udara panas yang memanaskan kokon yang disimpan di atas rak - rak yang tersusun teratur. Sistem ini dapat berfungsi ganda yaitu membunuh ulat dan mengeringkan kokon sampai mencapai tingkat kekeringan yang diinginkan. 
4)    Pengeringan dengan merebus air panas
Metoda pematian ulat di dalam kokon adalah dengan cara merebus kokon tersebut di dalam air panas selama beberapa jam sampai ulatnya mati. Setelah itu kokon ditebar untuk diangin - anginkan selama beberapa jam sehingga kokonnya kering.
2.      Pembersihan Kokon
Pembersihan kokon bertujuan untuk membuang lapisan luar kokon karena apabila tidak dibuang maka lapisan luar tersebut yang terdiri dari filamen - filamen kusut dan terputus menyerupai bulu akan menghambat pada saat mencari ujung filamen untuk direeling. Pengerjaan untuk membersihkan kokon dapat dilakukan dengan tangan atau dalam suatu alat yang mempunyai rol - rol berputar dengan kecepatan 300 rpm. Rol - rol itu dijalankan dengan sebuah motor atau diputar dengan tangan. Pada alat ini kokon dibersihkan dari debu dan serat - serat bagian luar.
3.      Pemilihan Kokon
Seperti telah diuraikan dimuka bahwa dari sejumlah kokon yang dihasilkan dapat memiliki karakteristik yang bermacam-macam. Oleh karena itu untuk memperoleh benang yang baik maka kokon harus dipilih.
Pemilihan kokon berdasarkan kepada :
a.    Kokon baik yang terdiri atas kokon besar dan kokon kecil
Yang dimaksud dengan kokon baik adalah kokon yang sempurna tanpa cacat. Kokon baik yang besar harus dipisahkan dengan kokon baik yang kecil, dan tiap kali proses reeling sebaiknya mengolah kokon yang sama ukurannya. Hal tersebut akan membantu kelancaran operator melayani kokon habis. Seleksi menurut besar kecilnya kokon dilakukan dalam suatu alat penyortir kokon yang terdiri dari teromol yang berlubang-lubang dan mempunyai dua bagian masing-masing dengan besar lubang yang berlainan.
b.    Kokon cacat
Seleksi dari kokon yang cacat dilakukan dengan tenaga manusia yang memilih dan memisahkan kokon-kokon berikut ini:
·         Kokon ganda
·         Ternoda
·         Kokon berserabut
·         Berdinding tipis
·         Berlubang
·         Berbentuk kerdil (aneh)
Kokon cacat dapat direeling, namun akan menghasilkan filamen yang lebih rendah mutunya dan tidak rata dan terputus-putus.
4.      Penyimpanan Kokon
Adakalanya kokon yang sudah dipilih tidak segera direeling atau dikirim untuk dijual, namun disimpan untuk beberapa lama. Penyimpanan dalam ruangan diusahakan agar kokon tidak rusak karena jamur, serangan tikus atau binatang lainnya. Biasanya akan lebih baik jika diberi zat anti hama seperti menggunakan cairan formalin 70 % dengan fentilasi yang cukup baik dan kokon harus sering diaduk untuk menjaga kestabilan bentuk kokon.
5.      Pemasakan Kokon
Serisin yang terdapat pada lapisan luar filamen telah merekat filamen satu dan lainnya membentuk dinding kokon. Proses pemasakan dimaksudkan untuk melunakkan serisin dengan menggunakan air atau uap panas sehingga filamen dapat ditarik dan digulung dengan baik dan tidak sering putus.
6.      Penyikatan
Kokon-kokon yang akan direeling terlebih dahulu harus disikat untuk mendapatkan ujung filamen yang tepat, sehingga pada waktu reeling tidak mengalami hambatan
Penyikatan ada 2 cara yaitu :
a.    Penyikatan dengan tangan
Dalam penyikatan dengan tangan, digunakan sejenis sikat yang cukup halus, yang terpenting disini sikat tersebut dapat sedikit menggaruk permukaan kokon. Gumpalan filamen yang mengumpul akibat penyikatan kemudian dipisahkan dan dipotong yang selanjutnya ujung filamen tersebut siap untuk di reeling.
b.    Penyikatan secara mekanik
Kokon-kokon ditempatkan dalam suatu bak yang dilengkapi dengan beberapa sikat secara mekanik yang dapat menyikat sendiri dari kokon tersebut. Kemudian ujung-ujung filamen dari kokon-kokon yang terkait oleh sikat - sikat tersebut disatukan dan dipotong yang selanjutnya siap untuk direeling. Yang perlu diperhatikan pada saat penyikatan tersebut, suhu air pada waktu penyikatan harus diatur sekitar 85 0C.
B.           Penggulungan Benang Sutera
Prinsip reeling dari kedua cara tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Cara Perancis atau cara “Chambon
Pada cara ini sekelompok filamen dililitkan pada kelompok filamen lainnya sehingga terbentuk gintiran pada masing-masing kelompok filament.













Gambar 5. Proses reeling cara Perancis

2.    Cara Italia atau cara “Tavelle
Pada cara ini kelompok digintir dengan cara melilitkan pada seutas benang lainnya (pada umumnya digunakan benang kapas) seperti terlihat pada gambar 4 di bawah ini.




  













Gambar 6. Proses reeling cara Italia

C.           Proses Re-Reeling Benang Sutera
Proses re-reeling atau penggulungan ulang adalah proses menggulung kembali filamen sutera yang telah digulung pada penggulung kecil (hasil reeling) untuk dipindahkan ke penggulung yang lebih besar (keliling 150 cm) yaitu dalam bentuk strengan. Dalam bentuk inilah biasanya bentuk benang sutera dapat diperjualbelikan. Pada umumnya ukuran baku berat sutera per gulung hasil mesin re-reeling adalah 70 gram atau 140 gram.
Disamping itu melalui proses re-reeling juga diharapkan dapat meningkatkan mutu sutera karena filamen yang putus sudah disambung kembali serta kotoran-kotoran, slub dan bercak kotoran dari getah dapat dihilangkan.
Agar proses re-reeling dapat berjalan dengan lancar maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut :
1.    Sutera mentah dalam gulungan hasil reeling akan menjadi keras dan kaku oleh serisin. Oleh karena itu pada saat sutera akan direeling sebaiknya gulungan sutera harus dicelupkan ke dalam air panas lebih kurang 60 0C, agar filamen sutera menjadi lunak sehingga gulungannya mudah dinuka kembali.
2.    Gulungan benang yang akan disuapkan ke re-reeling haru ditempatkan sedemikian rupa agar mudah dilihat, mudah disuapkan dan tidak akan terjadi perangkapan dengan gulungan yang lain.
3.    Penggulungan sutera pada re-reeling biasanya mempunyai ukuran standar lebar 7,5 – 8,0 cm yang diatur melalui gerakan pengantar filamen sutera
4.    Ujung akhir filamen sutera yang digulung dengan re-reeling dililitkan dengan benang kapas yang telah digintir agar ujung tersubut mudah ditemukan kembali pada saat akan dibuka.

II.5       Jenis Tanaman Murbei Sebagai tanaman Sutera

A.        Pengenalan tanaman murbei
Tanaman murbai termasuk Famili Moraceae, terdiri dari banyak jenis tetapi yang umum dikembangkan di Indonesia ada 4 jenis, yaitu :
1. Morus Alba, dengan ciri-ciri sbb :
·         Daun berwarna hijau tua.
·         Ujung ranting muda berwarna merah.
·         Tangkai daun muda sedikit merah.
·         Batang berumur satu tahun berwarna colklat.
·         Pertumbuhan batang lurus, percabangan mulai keluar pada      bagian tengah batang utama.
·         Panjang buku 7 - 8 cm.
·         Hasil perhektar sekitar 30 ton per tahun.
2. Morus Cathayana, dengan ciri-ciri  sbb :
·         Daun berwarna hijau tua
·         Ujung ranting muda sedikit merah.
·         Batang berumur satu tahun berwarna coklat.
·         Tangkai daun muda sedikit merah.
·         Pertumbuhan batang lurus, percabangan mulai keluar pada bagian tengah batang utama.
·         Panjang buku 7 - 8 cm.
·         Hasil per hektar sekitar 35 ton per tahun.
3. Morus Multicaulis, dengan ciri-ciri sbb :
·         Daun berwarna hijau tua.
·         Ujung ranting muda tidak berwarna merah.
·         Batang berumur satu tahun berwarna kelabu tua kehijauan.
·         Cabang lurus dan jumlahnya sedikit.
·         Panjang buku 8 - 9 cm.
·         Hasil per hektar sekitar 40 ton per tahun.
4. Morus Nigra, dengan ciri-ciri sbb :
·         Daun berwarna hijau tua.
·         Ujung ranting muda berwarna sedikit merah.
·         Tangkai daun muda sedikit merah.
·         Batang yang sudah berumur satu tahun berwarna coklat tua bercampur hijau.
·         Pertumbuhan batang lurus ke atas, cabang mulai tumbuh pada bagian tengah  dari batang utama.
·         Panjang buku 6 cm.
B.        Penanaman
Penanaman dilakukan dengan stek, karena cara ini praktis dan ekonomis sehingga banyak dipakai di kalangan para petani murbei. Pelaksanaan penanaman dilakukan pada awal musim hujan.

            Teknik penanamannya ada dua macam, yaitu :
1.     Monokultur, adalah sistem penanaman hanya dengan satu jenis tanaman pokok.
2.     Tumpang sari, adalah sistem pembuatan tanaman pokok dikombinasikan dengan penanaman tanaman semusim.
C.        Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman murbei membutuhkan beberapa step/tahap yaitu :
1.     Penanaman, dilakukan setiap jarak 1 m2 agar menjaga tanaman tidak terlalu rapat.
2.     Pembasmian hama, dilakukan dengan menyemprot tanaman murbei dengan insektisida agar terhindar dari serangan hama.
3.     Penyiangan, maksudnya untuk membuang tanaman pengganggu.
4.     Pendangiran, dilakukan untuk menggemburkan tanah dan dilakukan 3 bulan sekali.
5.     Pemupukan, dilakukan setelah pemangkasan awal atau pertengahan musim hujan.
6.     Pemangkasan, dilakukan setelah umur tanaman 9 - 12 bulan yang terdiri dari :
·         Pemangkasan rendah : 10 - 30 cm dari permukaan tanah.
·         Pemangkasan sedang : 50 - 100 cm dari permukaan tanah.
·         Pemangkasan tinggi : 120 - 150 cm dari permukaan tanah.
            Dalam pembuatan kebun murbei yang baik perlu diperhatikan :
1.     Waktu penanaman yang tepat, hubungannya dengan musim hujan.
2.     Luas areal yang akan ditanami, hubungannya dengan rencana pemeliharaan ulat/jumlah box ulat.
3.     Jenis murbei yang unggul, hubungannya dengan pruduksi daun.















          
Gambar 7. Perkebunan Murbei









Gambar 8. Jenis Daun Murbei yang baik






BAB III
DATA PENGAMATAN

III.1      Pengolahan Bahan Baku

A. Telur ulat sutera dikirim dari Candiroto (Jawa Tengah) yang dikemas dalam box dengan keterangan :
     Box telur sutera
1.    Jenis F.1
2.    1 Box terdiri dari 25.000 butir telur
3.    Ukuran Box Telur  (dijelaskan dalam gambar)
B. Telur yang telah dikirim disimpan dalam box penetasan (ukuran    dijelaskan dalam gambar) dengan suhu tertentu , lalu ditutup dengan kain setrimin selama 1 hari 1 malam, kemudian setelah telur menetas dipisahkan kedalam 30 sasag dan berkembang dengan tahap :
1.    Stadia I
a.    Ulat diberi makan daun murbei muda selama 3 hari.
b.    Memasuki masa tidur (1 hari 1 malam), tidak diberi makan
c.     Setelah masa tidur ulat diberi (ditaburi) campuran kapur dan kaporit  dengan perbandingan 10 : 1 sendok makan, untuk pergantian dan penguatan kulit.
2.    Stadia II
a.    Diberi makan selam 3 hari dengan makanan daun yang lebih tua dari stadia pertama.
b.    Kemudian melewati masa tidur selama 1 hari 1 malam.
c.     Diberi campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan yang sama dengan stadia pertama.
3.    Stadia III
a.    Ulat diberi makan 4 hari, pemberian makan pada pukul 07.00, 11.00, 14.00 dan jam 17.00.
b.    Masa Tidur selama 1 hari 1 malam
c.     Pemberian campuran kapur dan kaporit 10 : 1 sendok makan
4.    Stadia IV
a.    Pemberian makan sama selama 4 hari , dengan daun yang lebih tua
b.    Masa tidur 2 hari 2 malam
c.     Pemberian campuran kapur dan kaporit perbandingannya 5 : 1 sendok makan
5.    Stadia V
a.    Pemberian makan selama 4 hari
b.    Masa tidur 2 hari 2 malam
c.    Pemberian makan dari 1 box ulat sutera sekitar 1 kuintal murbei, hal ini harus dilakukan dengan sempurna, karena jika terjadi kelaparan maka ulat akan telat mengokon atau mati setengah.
6.    Hasil dari stadia V kemudian dipindahkan ke frame (tempat bersarangnya) jarak  antar frame minimal 10 cm, agar ketika ulat akan mulai bersarang tidak bersambung dengan yang lain.
7.    Hasil Maksimal kokon yang diperoleh dari 1 box telur sutera adalah 40 kg dengan harga berkisar antara Rp 22.000 – Rp 25.000/kg, tergantung kadar airnya. Bila kadar airnya lebih rendah maka lebih baik.
8.    Waktu yang dibutuhkan dari telur sampai menjadi kokon adalah sekitar 26 hari.
9.    Setiap kokon dapat menghasilkan serat sutera dengan panjang kurang lebih 800 m.
10. Jenis hama yang dapat menghambat proses adalah tikus dan semut merah.
11. Jenis Murbei yang digunakan pada peternakan ulat sutera :
1.    Multi
2.    Chatayana
3.    Nigra, paling baik untuk kokon hanya daunnya kecil-kecil.
12. Yang digunakan pada peternakan ini adalah jenis Multi dan Chatayana.

BAB IV
P E N U T U P

IV.1     DISKUSI
1.    Pemintalan Sutera adalah suatu proses pemintalan yang berkesinambungan antara beberapa proses kegiatan yang saling mempengaruhi (terutama pada mutu benang) . Proses tersebut meliputi :
a.    Pertanian Murbei
b.    Pemeliharaan Ulat
c.    Pemintalan
Ketiga proses di atas sangat berkaitan satu sama lain, jika murbei yang dihasilkan pertanian baik maka pemeliharaan ulat sutera pun menjadi baik dan lancar, sehingga menghasilkan kokon yang baik pula. Jika kokon yang dihasilkan baik maka benang yang dihasilkan dari pemintalan kokon akan baik pula.
2.    Daun murbei terbaik sebagai makanan ulat sutera adalah daun murbei jenis Nigra, namun murbei jenis ini daunnya kecil-kecil, sehingga memerlukan kuantitas yang lebih banyak.
3.    Pemberian jenis makanan pada tahapan stadia (masa bangun) ulat sutera secara bertahap juga, yaitu mulai dari daun murbei yang masih muda sampai yang tua.
4.    Pemberian makan pada masa bangun harus setepat mungkin, karena apabila telat memberikan makanan maka kokon yang dihasilkan menjadi kecil, ataupun bila jumlah makanan yang diberikan kurang, akan menyebabkan ulat telat mengokon atau setengah mati.
5.    Proses pemeliharaan ulat sutera dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu : lokasi pemeliharaan, sarana pemeliharaan, jumlah ulat yang diternakan, tenaga kerja, system sterilisasi ruangan pemeliharaan dan pelayanan terhadap ulat yang dipelihara.
6.    Lingkungan pemeliharaan harus benar-benar tenang tidak ada gangguan suara yang bising, sehingga lokasi pemeliharaan ini harus jauh dari keramaian, karena suara yang bising akan menyebabkan proses pengokonan menjadi terganggu dan kemungkinan akan menyebabkan serat putus.
7.    Data Pengamatan yang diperoleh mengenai faktor-faktor penunjang pemeliharaan ulat seperti suhu dan kelembaban hanya berdasarkan pada perkiraan dan pengalaman pemelihara, karena sistem pemeliharaan ulat untuk menghasilkan kokon di Ciawi Kabupaten Tasikmalaya ini   masih sederhana, ataupun juga karena si pemelihara merahasiakan data tersebut.
8.    Pemasakan pada proses pemintalan sebelum proses reeling dilakukan dengan menggunakan air panas dengan suhu kurang lebih 80° C, agar kokonnya mengembang sehingga memudahkan dalam proses pencarian ujung benangnya.
9.    Air yang digunakan pada bak reeling bias air hangat ataupun air dingin. Bila menggunakan air hangat, untaian filament dari kokon dapat direeling sampai habis dan waktunya lebih cepat daripada menggunakan air dingin.
10. Benang sutera dalam bentuk streng hasil proses reeling awal harus dianginkan tapi tidak boleh terkena sinar matahari langsung agar kilaunya tidak berkurang.
11. Sebelum proses penggintiran benang sutera dirangkapkan terlebih dahulu agar jumlah rangkapan pada awal dan akhir proses tetap.
12. Penggintiran yang dilakukan adalah gintir naik, karena benang sutera masih mentah sehingga mudah putus.
13. Satu helai filamen dari sebuah kokon memiliki kehalusan kurang lebih 2 denier.

IV.2     KESIMPULAN
            Sutera adalah serat yang diperoleh dari sejenis serangga  yang disebut lepydoptera. Serat sutera berbentuk filament yang dihasilkan dari larva ulat sutera waktu membentuk kepompong. Spesies utama dari ulat sutera yang dipelihara untuk menghasilkan serat sutera alam adalah bombyx mori .
            Pemintalan sutera adalah suatu proses pemintalan yang berkesinambungan antara beberapa proses kegiatan yang saling mempengaruhi mutu benang satu sama lain. Proses-proses itu meliputi pertanian murbei, pemeliharaan ulat dan pemintalannya.
            Sumber makanan untuk ulat sutera berupa tanaman murbei, dimana pemberian makanan harus dilakuakn dengan tepat, baik mengenai pemberian makanan, jumlah maupun jenis murbei yang diberikan.
            Proses pengolahan bahan baku dimulai sejak sutera berupa telur sampai menjadi kokon. Dimana dalam hal ini terdiri dari 5 tahapan / stadia, sedangkan kokon dibentuk oleh ulat sutera yang mengeluarkan serat sutera dan bekerja dari dalam, lapisan demi lapisan sehingga membentuk lapisan pelindung. Kokon yang terbentuk kemudian dijual dengan harga yang tergantung dari kandungan air di dalamnya,.
            Proses pemintalan dimulai dari proses persiapan, reeling, rereeling, winding sampai proses pemantapan dan akhirnya dapat dijual ke pasaran.
















DAFTAR PUSTAKA

1.  Asep Subagia , Pemanfaatan Kokon Sutera Liar Sebagai Bahan Baku Serat Tekstil Dalam Lingkungan Industri Kecil. (thesis), Institut Teknologi Tekstil, Bandung, 1988
2. P. Soeprijono, S. Teks. dkk, Serat-serat Tekstil, Institut Teknologi Tekstil, Bandung, 1974
3.   M. David Potter and Bernard P Corbman, Fiber to Fabrics
4.   Handbook of Silk Worm Rearing




































MAKALAH
PRAKTIKUM PEMINTALAN 4


3 komentar:

  1. Terima kasi makalahnya...... sangat berguna buat menambah wawasan saya tentang ragam bahan tekstil

    BalasHapus

  2. izin gan...
    numpang promo..
    yang mau berbisnis pulsa yuk merapat

    Champion Reload Pulsa

    ketawa-ketiwi disini juga boleh

    Ketawa Bareng

    BalasHapus